Mengapa Jablay123 Jadi Pilihan Favorit Pengguna di Indonesia?
Bagi sebagian orang, mungkin istilah jablay hanya sebatas lelucon atau bagian dari gaya bahasa sehari-hari. Namun bagi sebagian perempuan, label ini bisa menjadi luka yang membekas dalam waktu lama. Bayangkan seorang perempuan muda yang baru saja mencoba menemukan jati dirinya—mencoba berdandan, bergaul, dan belajar berani mengekspresikan diri—tapi kemudian dijuluki jablay hanya karena penampilannya berbeda dari norma umum. jablay123 Kata itu mungkin terdengar sepele, tetapi dampaknya bisa besar. Ia bisa membuat seseorang merasa rendah diri, malu, bahkan takut untuk menjadi dirinya sendiri.
Label seperti ini menciptakan tekanan sosial yang tidak sehat. Perempuan jadi merasa harus menyenangkan pandangan masyarakat, bukan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Mereka dipaksa mengikuti standar kecantikan dan kesopanan yang sering kali tidak masuk akal dan tidak adil. Kalau terlalu tertutup, dianggap kuno. Kalau terlalu terbuka, dianggap jablay. Apa pun pilihannya, selalu ada risiko dikomentari, dihakimi, bahkan direndahkan.
Padahal, di balik pilihan-pilihan itu, ada proses pencarian identitas, ada cerita keluarga, ada pengalaman hidup yang mungkin tidak diketahui oleh siapa pun. Tidak semua perempuan punya kemewahan untuk tumbuh dalam lingkungan yang suportif. Banyak dari mereka yang dibesarkan dalam kondisi sulit—ekonomi terbatas, kekerasan dalam rumah tangga, hingga pelecehan seksual sejak dini. Dalam kondisi seperti itu, sering kali satu-satunya kekuatan yang bisa mereka andalkan adalah diri sendiri, dan kadang satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menjadi “kuat” di mata dunia, meskipun harus dianggap jablay oleh lingkungan sekitar.
Antara Norma dan Kebebasan
Salah satu dilema terbesar dalam pembahasan seperti ini adalah tarik-ulur antara norma sosial dan kebebasan individu. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesopanan dan norma-norma budaya. Namun, di era digital seperti sekarang, di mana arus informasi dan gaya hidup global masuk tanpa saring, benturan antara nilai lama dan kebebasan baru menjadi semakin nyata.
Di satu sisi, orang tua dan masyarakat ingin menjaga tatanan sosial agar tetap rapi dan “aman”. Mereka menginginkan generasi muda yang sopan, taat, dan tidak “liar”. Di sisi lain, anak-anak muda tumbuh dalam era yang jauh lebih terbuka, dengan semangat individualisme yang lebih tinggi. Mereka ingin bebas menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
Istilah jablay sering muncul di tengah benturan ini. Ia menjadi simbol dari ketakutan masyarakat terhadap perubahan, sekaligus perlawanan terhadap pembatasan. Menyebut seseorang jablay sering kali menjadi bentuk penegakan norma sosial secara informal: seolah berkata, “Ini lho yang tidak boleh ditiru.” Tapi bagi sebagian anak muda, label itu justru jadi bendera perlawanan terhadap tekanan sosial yang mereka anggap tidak relevan lagi.
Perspektif Psikologis: Ketika Stigma Menghancurkan Diri
Dari sisi psikologis, dampak dari pelabelan negatif seperti “jablay” bisa sangat merusak, terutama bagi remaja dan perempuan muda. Masa remaja adalah fase kritis dalam pembentukan identitas diri. Ketika seseorang terus-menerus mendengar bahwa dirinya “tidak cukup baik”, “liar”, atau “rusak”, maka lambat laun, ia bisa mempercayai narasi tersebut.
Inilah yang disebut sebagai self-fulfilling prophecy. Ketika masyarakat terus menghakimi seseorang seolah dia buruk, maka lama-kelamaan dia bisa merasa bahwa memang itulah dirinya—dan bertindak sesuai dengan label tersebut. Akibatnya, potensi yang sesungguhnya bisa dikembangkan justru hilang karena kepercayaan dirinya hancur lebih dulu.
Lebih dari itu, pelabelan seperti jablay juga bisa membuat korban merasa terisolasi dari lingkungannya. Mereka merasa tidak diterima, dijauhi, bahkan dibenci. Padahal yang mereka butuhkan adalah dukungan dan pengertian, bukan penolakan.
Memahami Sebelum Menghakimi
Apa yang akan terjadi jika setiap kali kita ingin menyebut seseorang “jablay”, kita berhenti sejenak dan bertanya dalam hati: Apa yang sebenarnya aku tahu tentang dia? Apakah aku tahu perjuangannya? Latar belakang hidupnya? Atau aku hanya melihat kulit luarnya dan langsung menilai?
Masyarakat yang sehat bukanlah masyarakat yang suka menghakimi, melainkan yang terbuka untuk memahami. Bukan berarti kita membenarkan semua perilaku yang menyimpang, tapi kita belajar melihat konteks sebelum melemparkan penilaian.
Mungkin perempuan yang kita anggap “terlalu berani” sebenarnya hanya sedang belajar mencintai dirinya. Mungkin mereka yang kita juluki “jablay” sedang melalui masa sulit, dan penampilannya adalah bentuk cara bertahan yang paling mudah ia temukan. Kita tidak pernah tahu sepenuhnya. Dan karena kita tidak tahu, maka kita seharusnya berhati-hati dalam berkata.
Harapan untuk Generasi Mendatang
Ke depan, harapan kita adalah tumbuhnya generasi yang lebih peka, lebih kritis, dan lebih empatik. Generasi yang tidak mudah melabeli, tapi mau berdialog. Generasi yang tidak takut berbeda, tapi juga tidak merasa lebih benar hanya karena berbeda.
Di era di mana internet menjadi panggung besar bagi semua orang, setiap kata yang kita ucapkan—termasuk “jablay”—bisa menyebar cepat dan berdampak besar. Maka mari gunakan bahasa yang lebih membangun. Kalau pun harus mengkritik, lakukan dengan cara yang membangun. Kalau pun ingin bercanda, pastikan tidak melukai.
Perempuan Indonesia layak mendapatkan ruang yang lebih adil untuk berkembang. Mereka berhak memilih jalan hidupnya tanpa harus dicurigai atau dijuluki buruk. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita semua mau berbenah, mulai dari cara berpikir dan berbicara.
Karena pada akhirnya, menjadi perempuan—di negeri yang sering terlalu cepat menilai—sudah cukup berat. Jangan tambah beban mereka hanya dengan satu kata yang tak pernah mereka minta: jablay.